Istilah hakim karier dan nonkarier dapat ditemui antara lain dalam Pasal 6B UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (“UU 3/2009”) yang menyatakan:
(1) Calon hakim agung berasal dari hakim karier.
(2) Selain calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon hakim agung juga berasal dari nonkarier.
Kemudian, Penjelasan Pasal 6B UU 3/2009 menyebutkan :
“Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “calon
hakim agung yang berasal dari hakim karier” adalah calon hakim agung
yang berstatus aktif sebagai hakim pada badan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung yang dicalonkan oleh Mahkamah Agung.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “calon hakim agung yang juga berasal dari nonkarier” adalah calon hakim agung yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan.”
Jadi, istilah hakim karier dan nonkarier dalam UU 3/2009 di atas digunakan dalam konteks calon hakim agung. Hakim karier digunakan untuk menunjuk calon hakim agung yang berasal dari dalam lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sedangkan, calon hakim agung yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan termasuk calon hakim agung nonkarier.
Perbedaan lainnya antara hakim karier dan nonkarier dapat diketahui dari pengaturan Pasal 7 UU 3/2009 berikut:
“Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, calon hakim agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B harus memenuhi syarat:
a. hakim karier;
1. warga negara Indonesia;
2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. berijazah magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
4. berusia sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
5. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;
6. berpengalaman paling sedikit 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim, termasuk paling sedikit 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi; dan
7. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.
b. nonkarier:
1. memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1, angka 2, angka 4, dan angka 5;
2. berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum paling sedikit 20 (dua puluh) tahun;
3. berijazah
doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau
sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; dan
4. tidak
pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”
Perlu
diketahui juga bahwa istilah hakim karier dan nonkarier ini hanya
dikenal selama proses pencalonan hakim agung. Setelah calon hakim agung
diangkat menjadi hakim agung, tidak lagi ada perbedaan kedudukan antara
hakim agung yang berasal dari dalam lingkungan badan peradilan (jalur
hakim karier), maupun yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan
(jalur nonkarier).
Di sisi lain, dalam konteks yang berbeda, kita juga dapat menemui istilah hakim karier dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, di antaranya dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pengadilan Tipikor”) yang mendefinisikan:
“Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi”
Seperti di ketahui, di dalam UU Pengadilan Tipikor yang dimaksud dengan hakim adalah hakim karier dan hakim ad hoc (lihat Pasal 1 angka 1). Sedangkan, yang dimaksud dengan hakim ad hoc
adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan
dalam UU Pengadilan Tipikor sebagai hakim tindak pidana korupsi (lihat Pasal 1 angka 3).
Semoga artikel ini bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda sangat bermanfaat untuk blog kami dan juga pengunjung blog ini