Senin, 25 April 2011

Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada

Tulisan ini menyajikan problema hukum yang terjadi berkaitan dengan tenggang waktu 90 hari untuk pengajuan gugatan ke PTUN.
A. Latar Belakang
Keberadaan pasal 2 huruf g Undang Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) masih sering memicu munculnya berbagai macam penafsiran. Pasal ini merumuskan “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini adalah:  (g) Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum”.

Artinya, pasal ini menjelaskan bahwa salah satu Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dapat diselesaikan dan diputus melalui mekanisme PTUN adalah Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Dalam tafsir yang paling sederhana, bahwa selain tahapan penghitungan suara, semua tahapan pemilu memiliki peluang untuk digugat melalui mekanisme hukum. Mengingat setiap tahapan pemilu memiliki dasar hukum yakni Surat Keputusan KPU, maka SK KPU tentang setiap tahapan itulah yang berpeluang menjadi obyek perkara dalam PTUN.
Namun ternyata Mahkamah Agung memberikan makna lain. Lewat Surat Edaran No 8 Tahun 2005, Mahkamah Agung memberikan tafsir bahwa semua SK KPU yang terbit pada semua tahapan pemilu tidak dapat diproses di PTUN, termasuk SK yang tidak terkait dengan hasil Pemilihan Umum. Pada butir 2 SEMA disebutkan bahwa dihubungkan dengan pasal 2 huruf g UU PTUN, maka keputusan atau penetapan (KPUD) tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga bukan merupakan kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili. Menurut SEMA ini, sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan tersebut mengenai hasil pemilihan umum, haruslah diartikan meliputi juga keputusan-keputusan yang terkait dengan pemilihan umum. Sebab, apabila harus dibedakan kewenangan lembaga-lembaga pengadilan yang berhak memutusnya, padahal dilakukan terhadap produk keputusan atau penetapan yang diterbitkan oleh badan yang sama, yaitu KPUD dan terkait dengan peristiwa hukum yang sama pula, yaitu perihal pemilihan umum, maka perbedaan kewenangan tersebut akan dapat menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan. Bahkan putusan-putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain atau saling kontroversial. SEMA juga menunjuk putusan No. 482 K/TUN/2003 tanggal 18 Agustus 2004 sebagai yurisprudensi Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya.



Namun sikap Mahkamah Agung tidak bertahan lama. Tahun 2010, Mahkamah Agung kembali mengeluarkan Surat Edaran terkait dengan Pasal 2 huruf g UU PTUN. Secara substansi, materi  SEMA No. 7 Tahun 2010 memiliki perbedaan yang fundamental dengan substansi SEMA No. 8 Tahun 2005. Bahkan materi  SEMA No. 7 Tahun 2010 cenderung berusaha “meluruskan” materi SEMA No. 8 Tahun 2005.

Namun SEMA membedakan dua jenis kelompok keputusan, yaitu keputusan-keputusan yang berkaitan dengan tahap persiapan penyelenggaraan Pilkada dan keputusan yang berisi mengenai hasil pemilihan umum. Dengan demikian SEMA No. 7 Tahun 2010 mengatur bahwa keputusan-keputusan yang belum atau tidak merupakan ‘hasil pemilihan umum” dapat digolongkan sebagai keputusan di bidang urusan pemerintahan. Oleh karena itu, sepanjang keputusan tersebut memenuhi kriteria Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat 9 maka tetap menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya.

Munculnya SEMA No. 07 Tahun 2010 memicu dinamika dalam berperkara di PTUN. Beberapa PTUN kemudian mengalami lonjakan jumlah perkara mengingat pelaksanaan Pemilukada di daerah berlangsung secara intens. Dalam tahapan pemilukada itulah muncul persoalan-persoalan hukum, termasuk persoalan hukum administratif terkait terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh KPUD. Dalam pengamatan penulis, tahapan yang paling dominan menjadi obyek gugatan di PTUN dalam perkara Pemilukada 2010 adalah Tahapan Verifikasi Bakal Calon menjadi Calon Tetap. Beberapa pihak atau pasangan tertentu yang merasa tidak diloloskan KPUD dalam verifikasi Bakal Calon berusaha menggugat Keputusan KPUD tentang Penetapan Calon melalui PTUN. Harapannya, PTUN membatalkan SK Penetapan tersebut dan KPUD dapat mengakomodir pasangan untuk ikut berkompetisi dalam Pilkada.

Seiring banyaknya perkara pemilukada yang masuk PTUN akhir-akhir ini, maka beberapa persoalan penyelesaian secara yuridis formil juga mulai muncul. Salah satunya adalah mekanisme penerapan tenggang waktu mengajukan gugatan ke PTUN dalam perkara Pemilukada. Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 menerangkan bahwa ‘Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara’. Dalam perkara No. 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi Maddusila melawan KPUD Kabupaten Gowa terlihat ada problem penerapan tenggang waktu pasal 55 UU PTUN dalam perkara Pilkada. Pada kasus ini, Penggugat merasa kepentingannya dirugikan oleh terbitnya SK KPUD tentang Penetapan Calon Bupati Gowa karena proses penerbitan SK tidak melalui verifikasi yang cermat dan valid. Penggugat mengajukan gugatan pada saat tahapan Pemilukada sudah selesai, yakni setelah pelantikan calon terpilih. Penggugat mengklaim, gugatannya masih dalam tenggang waktu mengingat Penggugat  baru sadar dan tahu kepentingannya dirugikan dengan keluarnya SK itu setelah pelantikan berlangsung dan masih dalam tenggang waktu 90 hari.

B. Permasalahan
Meskipun pada akhirnya Gugatan 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi Maddusila melawan KPUD Kabupaten Gowa tidak lolos dismissal oleh Ketua PTUN Makassar, gugatan ini menyisakan persoalan pokok. Apa itu? Gugatan perkara Pemilukada yang diajukan masih dalam tenggang waktu namun tahapan pilkada tetapi sudah memasuki tahapan pemilihan suara bahkan penetapan pasangan yang berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum terhadap tahapan pemilukada. Selain itu, gugatan yang muncul pada tahapan akhir pilkada atau bahkan selesainya semua tahapan pilkada akan memicu gejolak sosial di tengah masyarakat. Sehingga persoalannya adalah bagaimana mencari titik temu atau solusi antara tahapan pilkada yang telah terjadwal dan terus berjalan dengan munculnya gugatan PTUN setiap saat mengingat durasi tenggang waktu dalam gugatan PTUN cukup lama, yakni 90 hari.

Pada umumnya jangka waktu 90 hari bagi pelaksanaan Pemilukada dapat mencakup lima tahapan, yakni pendaftaran dan penetapan calon pasangan, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara dan penetapan pasangan pemenang. Seperti dalam kasus Pilkada Gowa Sulawesi Selatan, KPUD melalui Surat KPUD Gowa No. 01/SK/KPUGW/PKWK/X/2009 tanggal 21 Oktober 2009 menetapkan jadwal tahapan pilkada, yakni tahapan pendaftaran dan penetapan calon berakhir 21 April 2010 dan penetapan pasangan pemenang pada 02 Juli 2010. Dalam kasus ini misalnya, tenggang 90 hari menjadi persoalan ketika pihak pertama atau pihak ketiga baru merasakan kepentingannya dirugikan pada awal Juli atau tepatnya memasuki tahapan pasangan pemenang.

C. Pembahasan
Eksistensi tenggang waktu dalam sebuah gugatan, termasuk gugatan dalam PTUN menjadi penting untuk menghadirkan kepastian hukum terhadap proses beracara. Tenggang waktu lazim juga disebut bezwaartermijn atau klaagtermijn. Ini merupakan batas waktu yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk memperjuangkan hanya dengan cara mengajukan gugatan melalui peradilan tata usaha negara (Marbun, 2003: 189).

Secara konseptual, tenggang waktu menggugat selama 90 hari dalam hukum acara PTUN  menurut pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 termasuk sangat singkat. Disebut singkat apabila dibandingkan dengan ketentuan batas waktu menggugat dalam hukum acara perdata, khususnya ketentuan pasal 835, 1963, dan 1967 KUH Perdata. Tenggang waktu menurut ketentuan tersebut adalah selama 30 tahun. Demikian pula menurut putusan Mahkamah Agung No.26/K/Sip/1972 tanggal 19 April 1972. Dalam hukum adat lewat waktu untuk hak milik atas tanah bahkan tidak dikenal, sebagaimana putusan Mahkamah Agung No. 916 K/Sip/1973 tangal 19 Desember 1973 (Marbun: 171).

Berdasarkan pasal 55, tenggang waktu mengajukan gugatan bagi yang dituju dengan sebuah KTUN (pihak II), makan tenggang waktunya 90 hari sejak saat KTUN itu diterima. Sedangkan bagi pihak ke III yang berkepentingan, maka tenggang waktunya sejak 90 KTUN itu diumumkan. Yang menjadi masalah, dalam praktek pemerintahan, belum ada suatu ketentuan yang pasti tentang tata cara pengumuman suatu KTUN. Hal ini berpotensi merugikan pihak ketiga yang sesungguhnya punya kepentingan terhadap terbitnya KTUN,  namun tidak mengetahui secara langsung. Berdasarkan kondisi demikian, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan SEMA No. 2 Tahun 1991 yang pada pokoknya mengatur bahwa bagi pihak ketiga yang tidak dituju KTUN, penghitungan 90 hari adalah sejak bersangkutan mengetahui keputusan dan merasa kepentingannya dirugikan KTUN tersebut.

Poin SEMA No. 2 Tahun 1991 secara substansi memperpanjang masa tenggang waktu menggugat di PTUN. Hal ini mengingat frasa “merasa kepentingannya dirugikan” tidak hanya dibatasi oleh 90 hari, tetapi juga kapan saja tiba-tiba bisa muncul kondisi merasa kepentingannya dirugikan. Dengan SEMA tersebut sangat dimungkinkan untuk menggugat suatu KTUN yang sudah diterbitkan puluhan tahun silam. Dalam konteks perkara PTUN yang terkait dengan Pilkada, maka substansi SEMA No. 12 Tahun 1991 inilah yang berpotensi memicu lahirnya ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada. Berdasarkan prinsip merasa kepentingannya dirugikan, pihak ketiga dapat saja mengajukan gugatan selama 90 hari sejak kepentingannya dirugikan meskipun pada faktanya tahapan pilkada sudah akan berakhir atau bahkan sudah selesai.

Dalam kasus Pilkada Gowa di atas, partai-partai pengusung Andi Maddusila baru merasa kepentingannya dirugikan ketika Badan Kehormatan KPU Provinsi Sulawesi Selatan memeriksa anggota KPUD Gowa. Hasil pemeriksaan menunjukkan ada kesalahan yang dilakukan KPUD Gowa dalam melakukan verifikasi bakal calon kandidat pemilukada Gowa. Kesalahan tersebut berupa lolosnya bakal calon yang diduga tidak memenuhi syarat secara formal. Kesalahan KPUD menjadi titik awal bahwa ada kepentingan para partai pengusung Andi Maddusila yang dirugikan. Padahal informasi bahwa KPUD melakukan kesalahan tersebut muncul ketika tahapan pilkada sudah selesai. 

Modus tentang kepentingan pihak ketiga yang merasa dirugikan yang muncul dalam rentang waktu yang cukup lama sejak lewatnya masa tenggang waktu 90 hari nampaknya akan semakin banyak ditemui dalam kasus pemilukada. Harus dingat bahwa pemilukada adalah peristiwa politik. Faktor kekecewaan dari pihak yang kalah cukup potensial. Kondisi ini kemudian berhadapan dengan kinerja KPUD mengelola penerbitan KTUN yang terkadang lalai dan kurang cermat. Dalam kondisi inilah ada pihak berusaha menggugat KTUN yang merugikan.

Sesungguhnya, proses gugatan adalah sesuatu yang normatif dan biasa-biasa saja. Adalah hak setiap orang untuk melayangkan gugatan. Yang menjadi persoalan, dalam peristiwa politik seperti pemilukada, masa tenggang waktu menggugat seperti yang diatur dalam pasal 55 merupakan rentang waktu yang cukup lama. Sehingga memicu ketidakpastian hukum bagi KTUN serta mengganggu proses pemilihan. Idealnya, penyelesaian hukum dalam peristiwa politik seperti pemilihan umum diatur proses hukum yang  berjalan dan selesai dalam waktu relatif singkat.

Jangka waktu pengajuan gugatan di PTUN menurut pasal 55 adalah 90 hari. Jangka waktu ini jauh lebih lama dibandingkan dengan jangka waktu pengajuan sengketa pemilukada ke Mahkamah Konstitusi yang sangat pendek, yaitu dibatasi hanya 3 hari setelah penetapan hasil pemilihan (vide Pasal 94 PP No.6/2005 jo UU No.12/2008), sedangkan untuk kasus pidana pemilukada harus dilaporkan paling lambat 7 hari (vide Pasal 110 PP No.6/2005). Pembatasan jangka waktu gugatan sengketa pemilukada dimaksudkan agar proses pemilukada tidak terkatung-katung atau terjadi kevakuman, ketidakpastian hukum dan pengeluaran anggaran yang sangat besar, maka batasan tenggang waktu gugatan baik di PTUN, di MK maupun di PN bersifat mutlak, sehingga pengajuan gugatan yang lewat waktu dinyatakan tidak dapat diterima

Dengan demikian diperlukan upaya sistematis dan konseptual untuk mendudukkan aturan tenggang waktu yang proporsional dalam perkara pilkada. Dalam pandangan penulis, tenggang waktu yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan  asas lex specialis derogat legi generali pada kasus sengketa Pemilukada. Asas ini diterapkan apabila terjadi konflik/pertentangan antara undang-undang yang khusus dengan  yang umum maka yang khusus yang berlaku. Dalam konteks ini, ketentuan tenggang waktu pasal 55 dalam UU PTUN harus dimaknai secara hukum berlaku pada tataran ketentuan hukum acara peradilan tata usaha negara secara umum. Namun ketika ketentuan hukum acara PTUN berhadapan dengan kasus khusus, seperti halnya kasus sengketa Pemilukada --yang mana tahapan Pemilukada menghendaki proses penyelesaian hukum yang cepat-- ketentuan tenggang waktu UU PTUN harus ditentukan secara khusus dalam sengketa pemilukada. Formula hukum yang paling proporsional adalah, UU PTUN harus mencantumkan materi eksepsional dalam ketentuan pasal 55, bahwa dalam hal sengketa Pemilu atau Pemilukada, maka tenggang waktu mengajukan gugatan adalah 7 hari sejak keputusan KPU/KPUD dan atau Bawaslu/Panwaslu diterbitkan atau diumumkan.

Pilihan eksepsional dalam pasal 55 UU PTUN merupakan salah satu upaya untuk tetap memberikan hak hukum bagi para pencari keadilan dan tetap menjaga agar proses pelaksanaan pemilu atau pemilukada tetap terjaga. Secara rasio dalam kasus pemilukada, penerapan pasal 55 UU PTUN amat sulit dieksekusi. Seperti dalam kasus gugatan Pemilukada Gowa di PTUN Makassar, penggugat menggugat Keputusan KPU tentang penetapan calon Bupati Gowa karena ada calon yang semestinya tidak lolos tetap lolos. Rationya adalah, jika gugatan itu menyangkut calon yang dianggap tidak sah, maka obyek gugatan dapat segera diputus atau ditunda (schorsing) sebelum tahap pelaksanaan pemilukada. Sedangkan apabila gugatan itu baru diajukan setelah tahap pelaksanaan pemungutan suara, berarti obyek gugatan sudah “terlanjur” dilaksanakan KPU/KPUD sudah tidak efektif lagi.

Selain itu, muncul obyek gugatan baru berupa penetapan hasil pemilukada yang bukan menjadi wewenang PTUN karena merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Seharusnya dengan mengacu pada ketentuan SEMA No. 07 Tahun 2010, dalam hal ada sengketa tata usaha negara yang terjadi pada tahap persiapan pemilukada, seharusnya segera diajukan dalam tahap persiapan atau sebelum lewat tahap pelaksanaan pemilukada (pemungutan suara: pencontrengan atau pencoblosan), tahap penghitungan suara dan tahap penetapan calon terpilih berdasarkan hasil penghitungan suara.

Logika rasionalitas seperti itu akan tetap menjadi dilema dan problem yang tak berkesudahan apabila pasal 55 UU PTUN masih tetap memberikan waktu 90 hari untuk tenggang waktu menggugat tanpa memberikan pilihak spesialis atau eksepsional dalam kasus Pemilukada. Dengan adanya peluang menggugat, maka secara hukum pada para pencari keadilan tetap melekat hak untuk menggugat. Dalam posisi itu secara hukum juga terbuka kemungkinan terbitnya keputusan-keputusan hukum yang mungkin juga keluar dari rasionalitas yang dipahami secara umum. Dengan demikian, apabila pasal 55 UU PTUN tidak memberikan pilihan eksepsional, ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada.

D. Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, lahirnya SEMA no 7 tahun 2010 tentang pemilukada menimbulkan dinamika dan beberapa persoalan baru dalam penerapan hukum acara, khususnya yang terkait dengan Pemilukada. Salah satu persoalan yang muncul adalah penerapan pasal 55 UU PTUN tentang tenggang waktu dalam kasus pemilukad.

Kedua, pasal 55 dalam UU PTUN berpotensi memberikan ketidakpastian hukum bagi tahapan pilkada, terutama tahapan pilkada yang tidak terkait dengan hasil pemilihan. Hal tersebut dapat terjadi karena rentang waktu 90 hari yang diatur dalam pasal 55 terhitung cukup lama apabila dihubungkan dengan tahapan pemilukada yang harus berlangsung cepat dan memerlukan kepastian hukum.

Ketiga, terlepas secara rasionalitas eksekusi atau penerapan hukum yang tidak mudah dilakukan akibat adanya tenggang waktu menggugat yang cukup lama dalam pemilukada (90 hari), namun apabila ketentuan 90 hari masih berlaku, maka hak menggugat bagi pencari keadilan juga masih berlaku.

Keempat, tenggang waktu yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan asas lex specialis derogat legi generali pada kasus sengketa Pemilukada. Artinya, tenggang waktu dalam pasal 55 harus memberikan ruang khusus bagi kasus sengketa pemilukada.

Adapun rekomendasi yang diajukan penulis adalah:
  • Tenggang waktu bagi perkara hukum administrasi tetap menjadi penting. Namun dalam perkara pemilukada, penerapan tenggang waktu harus diberlakukan secara singkat, yakni cukup dalam rentang 7 hari sejak KTUN diterbitkan dan diumumkan.
  • Oleh karena itu, diperlukan judicial review terhadap pasal 55 UU PTUN dengan  mencantumkan materi eksepsional dalam ketentuan pasal 55, bahwa dalam hal sengketa Pemilu atau Pemilukada, tenggang waktu mengajukan gugatan adalah 7 (tujuh) hari sejak keputusan KPU/KPUD dan atau Bawaslu/Panwaslu diterbitkan atau diumumkan.
Demikian beberapa pokok pikiran, semoga bermanfaat bagi pengembangan hukum acara peradilan tata usaha negara.

Oleh: Irvan Mawardi *)
*) Penulis adalah hakim PTUN Makassar. Tulisan ini tidak mewakili pandangan institusi dimana penulis bekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda sangat bermanfaat untuk blog kami dan juga pengunjung blog ini

RECENT COMMENTS