Memang dalam praktiknya tidak sedikit janji kawin yang akhirnya tidak ditepati. Tidak menepati janji kawin bagi sebagian orang mungkin hal yang biasa, tapi bukan berarti bisa disepelekan. Karena sudah ada beberapa putusan yang menyatakan ingkar janji menikahi adalah Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”).
Meskipun, dalam Pasal 58 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) sudah diatur:
“Janji kawin tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka Hakim berlangsungnya perkawinan, juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu, semua persetujuan untuk ganti rugi dalam hal ini adalah batal.
Akan tetapi, jika pemberitahuan kawin ini telah diikuti oleh suatu pengumuman, maka hal itu dapat menjadi dasar untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga berdasarkan kerugian-kerugian yang nyata diderita oleh satu pihak atas barang-barangnya sebagai akibat dan penolakan pihak yang lain; dalam pada itu tak boleh diperhitungkan soal kehilangan keuntungan. Tuntutan ini lewat waktu dengan lampaunya waktu delapan belas bulan, terhitung dari pengumuman perkawinan itu.”
Dari ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Pasal 58 KUHPerdata merumuskan tiga hal:
- Pertama, janji menikahi tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka hakim untuk dilangsungkannya perkawinan. Juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian, dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu. Semua persetujuan ganti rugi dalam hal ini adalah batal.
- Kedua, namun jika pemberitahuan nikah telah diikuti suatu pengumuman, maka hal ini dapat menjadi dasar untuk menuntut kerugian.
- Ketiga, masa daluarsa untuk menuntut ganti rugi tersebut adalah 18 bulan terhitung sejak pengumuman rencana perkawinan.
Kembali ke soal perbuatan melawan hukum (PMH). Dalam sebuah perkara yang terjadi di Nusa Tenggara Barat seperti ditulis dalam artikel Tidak Menepati Janji Menikahi adalah PMH, Mahkamah Agung (“MA”) pernah menghukum tergugat melakukan PMH gara-gara tidak menepati janji untuk menikahi. Berdasarkan keterangan atasan tergugat, tergugat sudah memperkenalkan penggugat sebagai calon isterinya kepada orang lain. Beberapa dokumen penting, seperti tabungan, juga sudah diserahkan tergugat kepada penggugat sebagai bukti keseriusannya mau menikahi. Mereka malah hidup bersama. Tetapi ketika si perempuan menagih janji untuk dinikahi, si laki-laki ingkar. MA menyatakan perbuatan si pria “melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat”. Karena itu pula, perbuatan si pria dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.
Begitu pula dalam masyarakat yang masih kuat memegang prinsip adat, tidak menepati janji menikahi bisa berakibat fatal. Yang ribut bukan hanya pasangan calon suami-isteri, tetapi juga bisa merembet ke hubungan keluarga besar. Kasus semacam ini pula yang pernah ditangani dan diputus MA. Si laki-laki dianggap melanggar adat pualeu manlu pada masyarakat Biboki, Timor, karena tidak menepati janji menikahi perempuan.
Masih menurut artikel yang sama, aktivis perempuan Ratna Batara Munti sangat mendukung putusan MA yang menghukum orang yang tidak menepati janji menikahi. Selama ini, kalau ada perempuan yang mempersoalkan janji tersebut, mereka seolah menabrak tembok. Menurut Ratna, tidak pernah ada keadilan buat perempuan yang sudah dipermalukan baik di keluarga maupun di muka umum.
Jadi, atas dasar PMH inilah, gugatan terhadap keluarga pihak laki-laki yang membatalkan perkawinan tersebut dapat diajukan ke pengadilan negeri di wilayah hukum keluarga suami. Dan kepada mereka dapat dituntut ganti rugi atas kerugian yang telah diderita keluarga pihak perempuan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
Oleh : DIANA KUSUMASARI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda sangat bermanfaat untuk blog kami dan juga pengunjung blog ini