Dalam Pasal 30 UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) diatur mengenai illegal access terhadap Komputer atau Sistem Elektronik. Ketentuan ini sejalan dengan Article 2 Convention on Cybercrime. Ruang lingkup pengaturan Pasal 30 UU ITE ialah:
- mengakses Komputer atau Sistem Elektronik milik Orang lain sebagai delik pokok (ayat [1])
- mengakses Komputer atau Sistem Elektronik milik Orang lain untuk memperoleh informasi (ayat [2]);
- mengakses
Komputer atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara melanggar,
menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengaman (ayat [3]).
Dalam berbagai literatur cyberlaw, illegal access dianggap sebagai akar dari cybercrime.
Ketika seseorang berhasil masuk dalam Komputer atau Sistem Elektronik
orang lain, maka ia dapat melakukan kejahatan lain, seperti merusak
data, mengambil informasi, mematikan sistem perbankan, menyebarkan
informasi bohong, dan seterusnya.
Prinsip pengaturan dalam Pasal 30 UU ITE ialah serupa dengan pengaturan Pasal 167 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)
tentang memasuki pekarangan rumah atau tempat tertutup. Pada dasarnya,
perlindungan hukum yang diberikan melalui pengaturan ini ialah bahwa setiap orang wajib menghormati properti orang lain, termasuk privasi orang tersebut di dalam kediamannya. Pembahasan hal ini merupakan isu tersendiri.
Dalam perumusan tindak pidana siber berdasarkan UU ITE, unsur “dengan sengaja dan tanpa hak” selalu muncul. Sengaja artinya tahu dan menghendaki perbuatan yang dilarang atau akibat yang dilarang, sedangkan tanpa hak
maksudnya tidak memiliki alas hukum yang sah untuk melakukan perbuatan
yang dimaksud. Alas hak dapat lahir dari peraturan perundang-undangan,
perjanjian, atau alas hukum yang lain. Tanpa hak juga mengandung makna
menyalahgunakan atau melampaui wewenang yang diberikan.
Memberikan kunci
rumah kepada orang lain belum tentu memberikan hak akses penuh kepada
orang itu untuk masuk ke dalam rumah kapan saja ia mau. Demikian juga
memberikan password e-mail yang dimaksud. Oleh karena itu, yang
perlu diperjelas ialah: hak apa yang telah diberikan oleh pemilik e-mail
kepada penerima password pada waktu ia menyerahkan password
tersebut? Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa tanpa hak juga
mengandung makna menyalahgunakan atau melampaui wewenang yang
diberikan.
Jika pemilik e-mail tidak menyatakan dengan tegas kepada penerima password
bahwa e-mailnya dapat diakses kapanpun oleh si penerima maka penerima
tidak memiliki hak untuk mengakses kapanpun ia mau. Dengan demikian,
tindakan mengakses email yang dimaksud melanggar UU ITE.
Dalam hal tujuan mengakses e-mail adalah untuk memperoleh informasi maka
perbuatan mengakses itu ialah tindak pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 30 ayat (2) UU ITE. Sanksi pidana atas pelanggaran Pasal 30 ayat
(2) UU ITE diatur dalam Pasal 46 ayat (2) UU ITE yang berbunyi:
“Setiap
Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp.700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).”
Mengingat
cara memperoleh informasi tersebut melanggar hukum, maka informasi yang
diperoleh tentunya tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) (Wetboek van Strafrecht Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915)
2. UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda sangat bermanfaat untuk blog kami dan juga pengunjung blog ini