Secara singkat, peradilan in absentia dapat diartikan pemeriksaan
suatu perkara tanpa kehadiran pihak tergugat (dalam perkara perdata dan
tata usaha negara) atau terdakwa (dalam perkara pidana).
Berikut adalah penjelasan lebih lengkapnya:
A. Dalam perkara pidana
Dalam perkara pidana, menurut mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dalam buku berjudul " Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz " (hlm. 208), konsep in absentia adalah konsep di mana terdakwa telah
dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang
sah, sehingga pengadilan melaksanakan pemeriksaan di pengadilan tanpa
kehadiran terdakwa.
Pada prinsipnya sidang putusan suatu perkara pidana harus dihadiri oleh terdakwa, hal ini berdasarkan Pasal 196 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang menyatakan: ”Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain”.
Selain itu, juga terdapat Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1988 tentang Penasehat Hukum atau Pengacara yang Menerima Kuasa dari Terdakwa/Terpidana "In Absentia"
yang pada intinya memerintahkan hakim untuk menolak penasihat
hukum/pengacara yang mendapat kuasa dari terdakwa yang sengaja tidak mau
hadir dalam pemeriksaan pengadilan sehingga dapat menghambat jalannya
pemeriksaan pengadilan dan pelaksanaan putusannya.
Namun, terhadap ketentuan Pasal 196 KUHAP terdapat suatu penyimpangan dalam perkara pelanggaran lalu lintas sebagaimana diatur Pasal 213 KUHAP yang menyatakan bahwa “terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang”. Selain itu, Pasal 214 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP menyatakan:
(1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan;
(2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana;
Di samping itu, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 9 Tahun 1985 tentang Putusan yang Diucapkan di Luar Hadirnya Terdakwa “Mahkamah Agung berpendapat bahwa perkara-perkara
yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat (baik perkara tindak
pidana ringan maupun perkara pelanggaran lalu lintas jalan) dapat
diputus di luar hadirnya terdakwa (verstek) dan Pasal 214 KUHAP berlaku bagi semua perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat.”.
Jadi, hukum acara pidana tidak hanya
mengakui keberadaan persidangan secara in absentia untuk perkara
pelanggaran lalu lintas jalan, melainkan berlaku juga bagi perkara
tindak pidana ringan (lihat Pasal 205 KUHAP).
Selain itu, persidangan in absentia secara khusus diatur dalam beberapa undang-undang lainnya, antara lain:
- Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan: “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.”
- Pasal 79 ayat (1) UU. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyatakan: “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.”
- Pasal 79 UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 45 Tahun 2009 yang menyatakan, “Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.” Dalam Angka
3 Surat Edaran Mahkamah Agung No.: 03 Tahun 2007 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Undang-Undang No. 31 Tahun 2007 tentang Perikanan, disebutkan bahwa, “Pemeriksaan
di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan adalah dalam pengertian perkara in absentia, yaitu
terdakwa sejak sidang pertama tidak pernah hadir di persidangan.”
Dengan demikian, dalam perkara tindak
pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, serta tindak pidana
perikanan dimungkinkan pula suatu persidangan dan pembacaan putusan
tanpa dihadiri terdakwa.
B. Dalam perkara perdata
Dalam hukum acara perdata, pengaturan in absentia terdapat dalam Pasal 125 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) yang menyatakan: “Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan.” Dalam penjelasan Pasal 125 HIR dijelaskan bahwa putusan "verstek" atau "in absentia", berarti putusan tak hadir (tanpa dihadiri oleh tergugat).
Jadi, berdasarkan pengaturan Pasal 125 HIR, apabila
terhadap seorang tergugat telah dilakukan pemangilan secara patut namun
panggilan pengadilan tidak dipenuhi, maka perkara dapat diputus tanpa
kehadiran tergugat.
C. Dalam perkara tata usaha negara
Persidangan secara in absentia juga dikenal dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan Pasal 72 ayat (2) UU. No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”) sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009 , menyatakan “dalam hal setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan dengan Surat tercatat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat, maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadirnya tergugat.”
Sekian jawaban dari kami, semoga membantu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda sangat bermanfaat untuk blog kami dan juga pengunjung blog ini