Sabtu, 11 Agustus 2012

Soekarno

Soekarno (Bung Karno) Presiden Pertama Republik Indonesia, 1945- 1966, menganut ideologi pembangunan ‘berdiri di atas kaki sendiri’. Proklamator yang lahir di Blitar, Jatim, 6 Juni 1901 ini dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid.” Persetan dengan bantuanmu.
Ia mengajak negara-nega-ra sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil mengge-lorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI.
Tokoh pencinta seni ini memiliki slogan yang kuat menggantungkan cita-cita setinggi bintang untuk membawa rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil makmur. Ideologi pembangunan yang dianut pria yang berasal dari keturunan bangsawan Jawa (Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, suku Jawa dan ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai, suku Bali), ini bila dilihat dari buku Pioneers in Development, kira-kira condong menganut ideologi pembangunan yang dilahirkan kaum ekonom yang tak mengenal kamus bahwa membangun suatu negeri harus mengemis kepada Barat. Tapi bagi mereka, haram hukumnya meminta-minta bantuan asing. Bersentuhan dengan negara Barat yang kaya, apalagi sampai meminta bantuan, justru mencelakakan si melarat (negara miskin).
Bagi Bung Karno, yang ketika kecil bernama Kusno, ini tampaknya tak ada kisah manis bagi negara-negara miskin yang membangun dengan modal dan bantuan asing. Semua tetek bengek manajemen pembangunan yang diperbantukan dan arus teknologi modern yang dialihkan — agar si miskin jadi kaya dan mengejar Barat — hanyalah alat pengisap kekayaan si miskin yang membuatnya makin terbelakang.
Itulah Bung Karno yang berhasil menggelorakan semangat revolusi dan mengajak berdiri di atas kaki sendiri bagi bangsanya, walaupun belum sempat berhasil membawa rakyatnya dalam kehidupan yang sejahtera. Konsep “berdiri di atas kaki sendiri” memang belum sampai ke tujuan tetapi setidaknya berhasil memberikan kebanggaan pada eksistensi bangsa. 

Daripada berdiri di atas utang luar negeri yang terbukti menghadirkan ketergantungan dan ketidakberdayaan (noekolonialisme).
Masa kecil Bung Karno sudah diisi semangat kemandirian. Ia hanya beberapa tahun hidup bersama orang tua di Blitar. Semasa SD hingga tamat, ia tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjut di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu ia pun telah menggembleng jiwa nasio-nalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, ia pindah ke Bandung dan me-lanjutkan ke THS (Technische Hooge-school atau Sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.
Kemudian, ia merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, si penjajah, menjebloskannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul ‘Indonesia Menggugat’, dengan gagah berani ia menelanjangi kebobrokan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas (1931), Bung Karno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, ia kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Sebelumnya, ia juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan ia berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik sangat hebat. Ia pun tak mau membubarkan PKI yang dituduh oleh mahasiswa dan TNI sebagai dalang kekejaman pembunuh para jenderal itu. Suasana politik makin kacau. Sehingga pada 11 Maret 1966 ia mengeluarkan surat perintah kepada Soeharto untuk mengendalikan situasi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Supersemar. Tapi, inilah awal kejatuh-annya. Sebab Soeharto menggunakan Supersemar itu membubarkan PKI dan merebut simpati para politisi dan mahasiswa serta ‘merebut’ kekuasaan. MPR mengukuhkan Supersemar itu dan menolak pertanggungjawaban Soekarno serta mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden.
Kemudian Bung Karno ‘dipenjarakan’ di Wisma Yaso, Jakarta. Kesehatannya terus memburuk. Akhirnya, pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi ini meninggalkan 8 orang anak. Dari Fatmawati mendapatkan lima anak yaitu Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Dari Hartini mendapat dua anak yaitu Taufan dan Bayu. Sedangkan dari Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mendapatkan seorang putri yaitu Kartika.

Orator Ulung
Presiden pertama RI itu pun dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialis-me dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.
“Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat,” kata Bung Karno, dalam karyanya ‘Menggali Api Pancasila’. Suatu ungkapan yang cukup jujur dari seorang orator besar.
Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya. Hal ini tercermin dalam autobiografi, karangan-karangan dan buku-buku sejarah yang memuat sepak terjangnya.
Ia adalah seorang cen-dekiawan yang meninggal-kan ratusan karya tulis dan beberapa naskah dra-ma yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbit-kan dengan judul “Diba-wah Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno.
Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut tulisan pertama yang bermula dari tahun 1926, dengan judul “Nasionalis-me, Islamisme, dan Marxisme” adalah paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya, seorang pemuda berumur 26 tahun.
Di tengah kebesarannya, sang orator ulung dan penulis piawai, ini selalu membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat tertutup.
Di akhir masa kekuasaannya, ia sering merasa kesepian. Dalam autobio-grafinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat itu, bercerita. “Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah…. Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.”
Dalam bagian lain disebutkan, “Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil… Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah, bukan pikiranmu… Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu.”

Anti Imperialisme
Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times (halaman pertama) pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang kolonialisme.
“Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme, telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Tetapi, perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?” pekik Soekarno ketika itu.
Hebatnya, meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS).
Pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno yang sejak masa mudanya antikolonialisme. Terutama pada periode 1926-1933, semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas dikedepankannya.
Sangat jelas dan tegas ingatan kolektif dari pahitnya kolonialisme yang dilakukan negara asing yang kaya itu. Namun, kata dan fakta adalah dua hal yang berbeda, dan tak jarang saling bertolak belakang.
Soekarno dan para penggagas nasionalisme lainnya dipaksa bergulat di antara “kata” dan “fakta” politik yang dicoba dirajut namun ternyata tidak mudah, dan tak jarang menemui jalan buntu.
Soekarno yang rajin berkata-kata, antara lain mengenai gagasan besarnya menyatukan kaum nasionalis, agama dan komunis (1926) menemukan kenyataan yang sama sekali bertolak belakang, ketika ia mencobanya menjadi fakta. Begitu pula gagasan besarnya yang lain: marhaenisme, atau nasionalisme marhaenistis, yang matang dikonsepsikan pada tahun 1932. Bahkan, gagasannya mengenai Pancasila.

Tokoh Kontroversial
Sebagai sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap sebagai tokoh kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun kawan yang berani secara terang-terangan mengritik maupun membela pandangannya. Di mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili sosok politisi kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”.
Akan tetapi, di mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila itu adalah Qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (Pemimpin besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan, Demokrasi Terpimpin, yang di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh al-Azhar itu sebagai, “lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa’ allatiy ja’alha al-Qur’an sya’ana min syu’un al-mu’minin” (tidak lain hanyalah salah satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai dasar bagi kaum beriman).
Tatkala memuncak ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab soal status Palestina ketika itu, pers sensasional Arab menyambut Bung Karno, “Juara untuk kepentingan-kepentingan Arab telah tiba”. Begitu pula, Tahta Suci Vatikan memberikan tiga gelar penghargaan kepada presiden dari Republik yang mayoritas Muslim itu.
Memang, pembelaan Bung Karno terhadap kaum tertindas tidak hanya untuk negerinya namun juga negeri lain. Itulah sebabnya, mengapa ia dipuja habis oleh bangsa Arab yang tengah menghadapi serangan Israel kala itu. Bung Karno dianggap sebagai pemimpin kaum Muslim. Padahal, di dalam negeri sendiri ia kerap dipandang lebih sebagai kaum abangan daripada kaum santri.
Sebenarnya, seberapa religiuskah Bung Karno? Bukankah ia juga dalam konsepsi Pancasila merumuskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Sila yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan mengakui lima agama. Bagaimana mungkin merangkum visi lima agama itu dalam satu kalimat yang mendasar itu kalau si pembuat kalimat tidak memahami konteks kehidupan beragama di Indonesia secara benar?
Dalam hal ini elok dikutip pendapat Clifford Geertz Islam Observed (1982): “Gaya religius Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri.” Betapa tidak? Kepada Louise Fischer, Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu. Di mata pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai “bergaya ekspansif seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia”. Sebaliknya, ungkapan semacam itu-pada hemat BJ Boland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982)- “hanya merupakan perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa”. Bagi penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru “merupakan keberanian untuk menyuarakan berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para agamawan formalis sebagai bidah”.

Sistem Politik
Soekarno memiliki pandangan mengenai sistem politik yang didukungnya adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, ia mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.
Lalu ia mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Dalam berpolitik Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, ia bersimpati pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensinya, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah, pendukung konsepsi demokrasi terpimpin. Jadi ia mencanangkan sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Ia mementingkan “persatuan” demi “revolusi”.
Pada tahun 1950-an, Indonesia memang ditandai oleh ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlemen. Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI),
Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI- hingga kini masih dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun, di sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai itu adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah juga mencatat bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.
Kenyataan ini membuat Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah.
Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara.

dikutip dari Lagaligo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda sangat bermanfaat untuk blog kami dan juga pengunjung blog ini

RECENT COMMENTS