Prinsip-prinsip tentang Kehutanan telah dijabarkan dalam Undang-Undang Kehutanan Indonesia yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan seperti yang terlihat dalam konsideran butir a UU No. 41/1999 bahwa “hutan wajib disyukuri, diurus dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan agar dapat dirasakan manfaatnya baik bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Salah satu masalah yang sangat krusial dalam bidang lingkup pada sektor kehutanan ini adalah masalah penebangan liar atau yang dikenal dengan istilah “illegal logging”. Stephen Devenish, ketua Misi Forest Law Enforecment Governance and Trade dari Uni Eropa, mengatakan bahwa Penebangan Liar adalah penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia.
Pengertian illegal logging dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun, terminologi illegal logging dapat dilihat dari pengertian secara harfiah, illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum. Dan Log adalah kayu gelondongan (logging artinya menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian.
Secara umum illegal logging mengandung makna kegiatan di bidang kehutanan atau yang merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga kegiatan jual beli (termasuk ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.
Essensi yang penting dalam praktek penebangan liar (illegal logging) ini adalah perusakan hutan yang akan berdampak pada kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya dan lingkungan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari fungsi hutan yang pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang di dalamnya mengandung tiga fungsi dasar, yaitu fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi) serta fungsi sosial.
Dilihat dari aspek sosial, penebangan liar (illegal logging) menimbulkan berbagai konflik seperti konflik hak atas hutan, konflik kewenangan mengelola hutan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah serta masyarakat adat setempat. Aspek budaya seperti ketergantungan masyarakat terhadap hutan juga ikut terpengaruh yang pada akhirnya akan merubah perspektif dan perilaku masyarakat adat setempat terhadap hutan.
Akar Permasalah dalam Illegal Logging, dimana paling sedikit ada 4 (empat) macam yaitu :
- Sistem Pengelolaan Hutan di Indonesia yang membuka ruang untuk terjadinya praktek illegal logging.
- Tingkat kesejahteraan (gaji) Pejabat, Petugas dan masyarakat sekitar hutan rendah.
- Mentalitas yang tidak baik.
- Kontrol yang lemah, baik kontrol instansional maupun kontrol sosial.
Hukum Kehutanan menurut Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan adalah kumpulan (himpunan) peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang berkenaan dengan kegiatan yang tersangkut paut dengan hutan dan pengurusannya. Dimana terdapat dua kepentingan dalam sistem pengelolaan hutan yang saling mempengaruhi yaitu kepentingan pemanfaatan dan kepentingan perlindungan hutan.
Perlindungan hutan menurut Pasal 47 UU No. 41/1999 dirumuskan bahwa perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk :
a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil-hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit dan;
b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Sementara perusakan hutan menurut UU No.41/1999 dalam penjelasan Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : ”yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya”.
Penebangan liar (illegal logging) adalah salah satu bentuk kejahatan dalam bidang kehutanan dan belum diatur secara spesifik dalam suatu ketentuan undang-undang tersendiri. Penegakan hukum terhadap penebangan liar (illegal logging) masih mengacu kepada ketentuan pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 50 Jo Pasal 78 UU No. 41/1999.
Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41/1999 yaitu pidana penjara, pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana dan ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif.
Uraian tentang rumusan ketentuan pidana dan sanksinya yang diatur oleh pasal 78 UUNo.41/1999 terdapat unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging) yaitu :
a. Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
b. Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan.
c. Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan undang-undang.
d. Menebang pohon tanpa izin.
e. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan illegal.
f. Menangkut, menguasai atau memilki hasil hutan tanpa SKSHH.
g. Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa izin.
Rumusan tersebut di atas menggambarkan selektifitas dari ketentuan hukum dimana sasaran penegakan hukumnya belum dapat menjangkau seluruh aspek pelaku kejahatan penebangan liar (illegal logging). Secara tegas UU No. 41/1999 belum memberikan definisi tentang penebangan liar penebangan liar (illegal logging) , dan tindak pidana pembiaran terutama kepada pejabat yang mempunyai kewenangan dalam bidang kehutanan yang berpotensi meningkatkan intensitas penebangan liar (illegal logging).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda sangat bermanfaat untuk blog kami dan juga pengunjung blog ini