Sebagian
besar daripada masyarakat Indonesia tentu mengetahui adanya sebuah lembaga di negara
Indonesia yang bernama KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA atau KOMNAS HAM.
KOMNAS
HAM adalah sebuah lembaga
independen yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya dengan
fungsi melaksanakan kajian, perlindungan, penelitian, penyuluhan, pemantauan,
investigasi, dan mediasi terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia. Komisi
ini berdiri sejak tahun 1993 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun
1993, tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komnas HAM mempunyai
kelengkapan yang terdiri dari Sidang paripurna dan Subkomisi. Di samping itu,
Komnas HAM mempunyai Sekretariat Jenderal sebagai unsur pelayanan.
Komnas HAM dibentuk dengan tujuan :
- · Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
- · Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Landasan
Hukum Komnas HAM
Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang guna mencapai
tujuannya Komnas HAM menggunakan sebagai acuan instrumen-instrumen yang
berkaitan dengan HAM, baik nasional maupun Internasional.
·
INSTRUMEN NASIONAL :
1.
UUD 1945 beserta amendemennya;
2.
Tap MPR No. XVII/MPR/1998;
3.
UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia;
4.
UU No 26 tahun 2000 Tentang
Pengadilan HAM;
5.
UU No 40 Tahun 2008 Tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis;
6.
Peraturan perundang-undangan
nasional lain yang terkait.
7.
Keppres No. 50 tahun 1993 Tentang
Komnas HAM.
8.
Keppres No. 181 tahun 1998 Tentang
Komnas Anti kekerasan terhadap Perempuan
·
INSTRUMEN INTERNASIONAL :
1.
Piagam PBB, 1945;
2.
Deklarasi Universal HAM 1948;
3.
Instrumen internasional lain
mengenai HAM yang telah disahkan dan diterima oleh Indonesia.
Untuk
mengetahui bagaimana kerja-kerja Komnas HAM dalam rangka menangani dan
menyelesaikan kasus HAM, Komnas HAM telah menerbitkan sebuah buku yang berjudul
Belajar Dari Pengalaman : Praktik Mediasi Hak Asasi Manusia.
Buku tersebut ditulis oleh tim penulis yang dibentuk Komnas HAM di bawah
tanggung jawab anggota Komnas HAM periode 2007–2012, Syafruddin Ngulma Simeulue
dan M. Ridha Saleh.
Dalam
buku itu, masyarakat akan mengetahui bagaimana mediasi digunakan sebagai salah
satu upaya Komnas HAM dalam menangani dan menyelesaikan konflik yang ada di
masyarakat.
Di
bagian awal, buku yang terdiri dari lima bab itu menjelaskan dengan lugas apa
fungsi mediasi dan bagaimana peran mediator dalam melakukan mediasi. Di Bab 1,
dijelaskan secara singkat bagaimana mediasi kerap digunakan oleh masyarakat,
bahkan sebelum Indonesia merdeka.
Di
tengah kewenangan Komnas HAM yang terbatas, tak sedikit kasus pelanggaran HAM
yang penyelesaiannya mandeg dan mediasi pun digunakan sebagai upaya memecah kebuntuan
tersebut. Atas dasar itu, peran mediasi yang dilakukan sub komisi mediasi di
Komnas HAM, sangat diperlukan.
Dalam
melakukan mediasi, Komnas HAM bertidak sebagai mediator. Buku setebal 168
halaman itu memuat berbagai macam pengalaman mediasi yang dilakukan Komnas HAM
berdasarkan mandat pasal 76 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Di
dalam buku tersebut, juga menjelaskan batasan-batasan mediasi yang dapat
dilakukan Komnas HAM, mengacu pasal 89 ayat (6) huruf b UU HAM, yaitu
pelanggaran HAM yang bersifat perdata. Dan mengacu pasal 89 ayat (4) UU HAM,
mediasi yang dilakukan Komnas HAM adalah mediasi di luar pengadilan. Sebagian
besar kasus yang dimediasi adalah sengketa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
(ekosob). Misalnya, sengketa pertanahan dan ketenagakerjaan.
Mediasi
yang digelar Komnas HAM itu juga dilakukan untuk sengketa yang berkaitan dengan
hak sipil poltik. Hal itu sejalan dengan amanat UU HAM. Pada bab 2 buku tersebut
menjelaskan kenapa Komnas HAM disebut sebagai mediator otoritatif dan apa
perbedaannya dengan jenis mediator lainnya. Serta, alasan yang mendasari kenapa
mediator Komnas HAM tak boleh bersaksi di persidangan dalam kasus yang pernah
dimediasi.
Bagi
yang ingin mengetahui apa saja tahapan yang ditempuh Komnas HAM dalam melakukan
mediasi, dapat ditemukan di buku itu. Karena, bagaimana proses pra mediasi,
mediasi dan pasca mediasi dijelaskan cukup rinci berikut landasan hukumnya.
Bahkan,
pada proses pasca mediasi, dijelaskan bagaimana mediator melakukan monitoring
atas pelaksanaan hasil kesepakatan. Serta melakukan tindakan yang diperlukan
jika kesepakatan itu tak dilaksanakan. Seperti turun ke lapangan untuk memastikan
pelaksanaannya atau mengajukan eksekusi ke pengadilan negeri.
Dari
beberapa pengalaman mediasi yang dilakukan sub komisi mediasi Komnas HAM,
berlarutnya proses mediasi disebabkan oleh beberapa hal. Mulai dari rumitnya
masalah, posisi tawar korban, besarnya konflik, sengketa melibatkan negara dan
korporasi. Tak luput dijelaskan dalam buku itu persoalan anggaran dan SDM
menjadi hambatan sub komisi mediasi melaksanakan tugasnya. Selain kendala
internal, perwakilan dari pihak yang dimediasi ikut menyumbang peluang
keberhasilan atau tidaknya proses mediasi.
Misalnya,
yang mengikuti mediasi apakah pihak yang bersengketa langsung atau
perwakilannya. Kerap kali proses mediasi berjalan lancar jika pihak yang
bersengketa secara langsung mengikuti proses mediasi. Walau mediasi dapat
dikatakan sebagai salah satu senjata ampuh untuk menuntaskan sengketa, namun
mediasi kerap terhambat jika sengketa berkaitan dengan barang milik negara
(BMN). Misalnya, terjadi sengketa lahan antara warga desa dengan TNI Angkatan Darat.
Terkait
sengketa BMN, buku itu cukup baik menjelaskan sengketa seperti apa yang ditemui
Komnas HAM di masyarakat soal BMN. Penjelasan itu disertai dengan contoh kasus
yang ditemui Komnas HAM di lapangan. Contoh kasus lainnya juga dijelaskan dalam
buku itu, seperti sengketa lahan antar masyarakat, ketenagakerjaan dan
penggusuran pasar.
Sementara,
pada Bab 4, menjelaskan tinjauan filosofis, sosiologis dan yuridis mediasi
sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Serta hambatan dalam proses mediasi
dari lembaga negara lainnya seperti pemahaman aparat pemerintah di pengadilan
negeri yang minim atas kewenangan mediasi yang dimiliki Komnas HAM. Serta,
absennya pengaturan di Mahkamah Agung tentang fiat eksekusi atas kesepakatan
mediasi.
Sedangkan,
fungsi mediasi sebagai upaya pemenuhan hak korban dijelaskan di bab 5. Dalam
bab yang paling singkat pembahasannya itu ketimbang bab lainnya, dijelaskan
bagaimana cara mediasi yang dilakukan Komnas HAM agar tak ditujukan untuk
sarana impunitas. Oleh karenanya, buku itu menjelaskan hal apa saja yang harus
diperhatikan Komnas HAM sebelum melakukan mediasi. Pasalnya, dalam melakukan
mediasi HAM, Komnas HAM wajib mencermati apakah hak yang dilanggar itu
tergolong hak yang dapat dikurangi atau tidak.
Di
bagian akhir, buku itu juga menyajikan lampiran peraturan perundang-undangan
terkait mediasi Komnas HAM. Bahkan, berbagai macam contoh surat yang
bersinggungan dengan proses mediasi di Komnas HAM ikut dilampirkan. Misalnya,
surat permintaan mediasi, kesediaan mediasi dan surat kuasa sebagai tim juru
runding mediasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda sangat bermanfaat untuk blog kami dan juga pengunjung blog ini