Secara yuridis, ketentuan-ketentuan baru mengenai
pelaksanaan pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
sebagai pengembangan dari ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun
1961 dapat dikemukakan, antara lain :
1. Kesepakatan Dalam Penetapan Batas
Bidang Tanah (Kontradiktur de Limitasi)
Dalam hal ini, sebidang tanah yang akan diukur ditetapkan
lebih dahulu letak, batas-batas dan penempatan tanda batas. Dalam penetapan
batas bidang tanah diupayakan penataan batas berdasarkan kesepakatan para pihak
yang berkepentingan, dengan penunjukan batas oleh pemegang hak yang
bersangkutan dan dan sedapat mungkin disetujui oleh pemegang hak atas tanah
yang berbatasan, dengan ketentuan persetujuan tersebut dituangkan dalam suatu
berita acara yang ditandatangani oleh yang memberikan persetujuan.
Jika dalam penetapan batas bidang tanah tidak diperoleh
kesepakatan, maka dilakukan pengukuran sementara dengan batas yang nyata di
lapangan, namun apabila sudah diperoleh kesepakatan atau diperoleh kepastian
berdasarkan putusan pengadilan, diadakan penyesuaian data pada peta pendaftaran
yang bersangkutan. Ketentuan ini pada dasarnya adalah pemberian kesempatan
kepada masyarakat baik perorangan maupun kelompok untuk berpartisipasi dalam
pemberian dan pengumpulan informasi tentang data fisik dan data yuridis tanah.
Dalam kaitannya dengan data fisik tanah, masyarakat khususnya pemegang hak atas
tanah dan pemilik tanah di sekitarnya berhak untuk menentukan batas-batas
pemilikan tanahnya secara musyawarah.
Apabila musyawarah tidak dapat menghasilkan kesepakatan
antara pihak yang berbatasan, Pemerintah tidak boleh menentukan batas tanah
berdasarkan keinginannya, namun harus diserahkan kepada pengadilan untuk
memutuskan dan menetapkan batas-batas kepemilikannya sehingga nilai kepastian
hukumnya dapat dijamin.
2. Pembuktian Hak Dengan Penguasaan
Fisik
Apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti
kepemilikan tanahnya baik berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat
dipercaya, maka pembukuan hak dapat dilakukan tidak berdasarkan kepemilikan
akan tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik tanah, dengan syarat :
1. Pemohon
telah menguasai secara nyata tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau
lebih secara berturut-turut, atau telah memperoleh penguasaan itu dari pihak
atau pihak lain yang telah menguasainya, sehingga waktu penguasaan pemohon dan
pendahulunya tersebut berjumlah 20 tahun atau lebih;
2. Penguasaan
tanah itu telah dilakukan dengan itikad baik;
3. Penguasaan
itu tidak pernah diganggu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan
masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan;
4. Tanah
tersebut sekarang tidak dalam sengketa;
5. Jika
pernyataan tersebut memuat hal hal yang tidak sesuai dengan kenyataan, penanda
tangan bersedia dituntut di muka hakim secara pidana maupun perdata karena
memberikan keterangan palsu.
Keterangan kepala desa/lurah dan sekurang kurangnya
2 orang saksi yang kesaksiannya dapat dipercaya, - karena fungsinya sebagai
tetua adat setempat(bendesa adat) dan/atau penduduk yang sudah lama bertempat
tinggal di desa/kelurahan letak tanah yang bersangkutan dan tidak memunyai
hubungan keluarga dengan pemohon sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan
vertikal maupun horizontal - membenarkan apa yang dinyatakan pemohon dalam surat
pernyataan tersebut.
Peranan surat keterangan kepala desa/lurah sangat
penting. Kepala desa/lurah tidak bisa gegabah dalam memberikan
surat keterangan; perlu ada administrasi yang baik di kantor desa/ kantor
lurah, jangan sampai satu objek bidang tanah diterbitkan SKKD /SKKL sampai dua
kali. Tanpa administarsi yang baik kemungkinan ini bisa saja terjadi dan hal
inilah yang nantinya berujung pada terjadinya penerbitan sertifikat hak atas
tanah ganda.
Keterangan kepala desa/lurah merupakan data yuridis dan
data fisik yang menerangkan tentang status tanah, jenis hak, subjek dan
objek tanah yang akan disertifikatkan. Subjek meliputi data atau identitas
pemohon, sedangkan objek meliputi letak tanah, batas-batas dan luas tanah ,yang
nantinya menjadi acuan dalam pertimbangan panitia pemeriksa tanah
(panitia A) yang meneliti kesesuain data fisik dan yuridis di Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota dalam proses penerbitan sertifikat. Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota tidak berwenang menguji kebenaran materiil SKKD/SKKL.
Dalam proses pendaftaran tanah, khususnya pendaftaran tanah pertama kali,
ada beberapa tahapan yang harus dilalui yaitu pengumpulan data fisik dan
yuridis, pengukuran dan pemetaan kadastral, penelitian data yuridis dan data
fisik oleh panitia A, pengumuman data fisik dan data yuridis, pembukuan hak dan
penerbitan sertifikat. Proses pengukuran dan pemetaan kadastral yang merupakan
pengukuran geodetik, memunyai kekuatan hukum, bertujuan untuk memperoleh
kepastian tentang lokasi, batas, dan luas suatu bidang tanah dan untuk
itu pelaksanaannya harus memenuhi asas kontradiktur delimitasi dan
publisitas.
Ketentuan ini tentunya selain mempertimbangkan bahwa
Hukum Adat di Negara ini pada dasarnya kebanyakan tidak tertulis termasuk dalam
hal pembuktian penguasaan bidang tanah, tetapi sudah cukup dengan pengakuan
oleh masyarakat atau diwakili oleh tokoh-tokoh adat setempat, juga hal ini
sebagai pemberian perhatian terhadap perbedaan dalam perkembangan kondisi dan
kehidupan sosial masyarakat.
Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa
masyarakat Indonesia memang pluralistis baik dari segi kehidupan sosial,
budayanya maupun dari kemajuankemajuan yang dicapai oleh masing-masing kelompok
masyarakat. Oleh karenanya perbedaan merupakan sebagai suatu realita yang harus
dihormati.
Pemberian perhatian dan bentuk penghormatan terhadap
perbedaan itu tercermin dalam ketentuan tentang alat-alat bukti yang harus
disediakan dan dapat digunakan untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah.
Untuk kelompok-kelompok masyarakat yang pada masa lalu sudah pernah bersentuhan
dengan administrasi dan yurisdiksi hukum pertanahan yang lebih modern seperti
yang berlangsung dalam masyarakat di Jawa dan daerah swapraja, alat-alat bukti
awal yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengkonversi dan mendaftarakan
hak atas tanahnya berupa bukti-bukti tertulis yang pernah dikeluarkan seperti
grosse akte dari hak-hak barat, sertipikat model E atau D dan Girik atau Petok
Pajak tanah. Jika alat bukti tersebut tidak ada, maka dapat digunakan kesaksian
orang lain atau pernyataan yang diberikan oleh pihak yang mendaftarkan.
Untuk kelompok-kelompok masyarakat yang belum pernah
tersentuh Administrasi dan hukum pertanahan yang lebih moderen dan hanya
mengenal ketentuan hukum adat mereka, alat bukti yang dapat digunakan meliputi
pernyataan tentang penguasaan secara fisik atas tanah oleh yang bersangkutan
dengan syarat bahwa penguasaan itu sudah berlangsung secara turun-menurun dan
atas dasar iktikat baik selama 20 tahun atau lebih, diperkuat dengan kesaksian
orang-orang yang dapat dipercaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda sangat bermanfaat untuk blog kami dan juga pengunjung blog ini