Dalam buku “Mengenal Ombudsman Indonesia” uraian tentang maladministrasi publik adalah suatu praktek yang menyimpang dari etika administrasi, atau suatu praktek administrasi yang menjauhkan dari pencapaian tujuan administrasi. Selama ini banyak kalangan yang terjebak memahami maladministrasi semata-mata sebagai penyimpangan administrasi dalam arti sempit, yaitu penyimpangan yang hanya berkaitan dengan ketatabukuan dan tulis menulis. Bentuk-bentuk penyimpangan di luar hal-hal yang bersifat ketatabukuan tidak dianggap sebagai perbuatan maladministrasi. Padahal terminologi maladministrasi dipahami lebih luas dari sekadar penyimpangan yang bersifat ketatabukuan sebagaimana selama ini dipahami banyak orang.
Karena pengertian administrasi publik tidak semata-mata tentang hal ihwal yang bersifat ketatabukuan, maka maladministrasi juga harus dipahami tidak sekadar sebagai penyimpangan terhadap hal tulis menulis, tata buku, dsb, tetapi lebih luas mencakup penyimpangan terhadap fungsi-fungsi pelayanan publik yang dilakukan setiap penyelenggara negara (termasuk anggota parlemen) kepada masyarakat. Bahkan Nigro & Nigro dalam catatan Muhadjir Darwin mengemukakan delapan bentuk penyimpangan yang dapat dikategorikan sebagai maladministrasi yaitu; ketidakjujuran (dishonesty), perilaku yang buruk (unethical behavour), mengabaikan hukum (disregard of the law), favoritisme dalam menafsirkan hukum, perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai, inefisiensi bruto (gross inefficiency), menutup-nutupi kesalahan, dan gagal menunjukkan inisiatif.
Secara lebih umum maladministrasi diartikan sebagai penyimpangan, pelanggaran atau mengabaikan kewajiban hukum dan kepatutan masyarakat sehingga tindakan yang dilakukan tidak sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik (good governance). Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa parameter yang dijadikan sebagai ukuran maladministrasi adalah peraturan hukum dan kepatutan masyarakat serta asas umum pemerintahan yang baik.
Jenis-Jenis Maladministrasi
Bentuk dan Jenis maladministrasi dapat ditemukan dalam buku Panduan Investigasi untuk Ombudsman Indonesia yang ditulis Profesor Sunaryati Hartono, S.H dkk terdiri dari dua puluh kategori. Dalam hal ini dapat diklasifikasikan menjadi enam kelompok berdasarkan kedekatan karakteristik sebagaimana ditulis dalam buku “Mengenal Ombudsman Indonesia” karangan Budhi Masthuri, S.H, sebagai berikut:
Kelompok pertama adalah bentuk-bentuk maladministrasi yang terkait dengan ketepatan waktu dalam proses pemberian pelayanan umum, terdiri dari tindakan penundaan berlarut, tidak menangani dan melalaikan kewajiban.
1. Penundaan Berlarut
Dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seorang pejabat publik secara berkali-kali menunda atau mengulur-ulur waktu sehingga proses administrasi yang sedang dikerjakan menjadi tidak tepat waktu sebagaimana ditentukan (secara patut) mengakibatkan pelayanan umum yang tidak ada kepastian.
2. Tidak Menangani
Seorang pejabat publik sama sekali tidak melakukan tindakan yang semestinya wajib dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.
3. Melalaikan Kewajiban
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik bertindak kurang hati-hati dan tidak mengindahkan apa yang semestinya menjadi tanggungjawabnya.
Kelompok kedua adalah bentuk-bentuk maladministrasi yang mencerminkan keberpihakan sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan dan diskriminasi. Kelompok ini terdiri dari persekongkolan, kolusi dan nepotisme, bertindak tidak adil, dan nyata-nyata berpihak.
1. Persekongkolan
Beberapa pejabat publik yang bersekutu dan turut serta melakukan kejahatan, kecurangan, melawan hukum sehingga masyarakat merasa tidak memperoleh pelayanan secara baik.
2. Kolusi dan Nepotisme
Dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seorang pejabat publik melakukan tindakan tertentu untuk mengutamakan keluarga/ sanak famili, teman dan kolega sendiri tanpa kriteria objektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan (tidak akuntabel), baik dalam hal pemberian pelayanan umum maupun untuk dapat duduk dijabatan atau posisi dalam lingkungan pemerintahan.
3. Bertindak Tidak Adil
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan tindakan memihak, melebihi atau mengurangi dari yang sewajarnya sehingga masyarakat memperoleh pelayanan umum tidak sebagaimana mestinya.
4. Nyata-nyata Berpihak
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik bertindak berat sebelah dan lebih mementingkan salah satu pihak tanpa memperhatikan ketentuan berlaku sehingga keputusan yang diambil merugikan pihak lainnya.
Kelompok ketiga adalah bentuk-bentuk maladministrasi yang lebih mencerminkan sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundangan. Kelompok ini terdiri dari pemalsuan, pelanggaran undang-undang, dan perbuatan melawan hukum
1. Pemalsuan
Perbuatan meniru sesuatu secara tidak sah atau melawan hukum untuk kepentingan menguntungkan diri sendiri, orang lain dan/atau kelompok sehingga menyebabkan masyarakat tidak memperoleh pelayanan umum secara baik.
2. Pelanggaran Undang-Undang.
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik secara sengaja melakukan tindakan menyalahi atau tidak mematuhi ketentuan perundangan yang berlaku sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik.
3. Perbuatan Melawan Hukum
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan perbuatan bertentangan dengan ketentuan berlaku dan kepatutan sehingga merugikan masyarakat yang semestinya memperoleh pelayanan umum.
Kelompok keempat adalah bentuk-bentuk maladministrasi yang terkait dengan kewenangan/kompetensi atau ketentuan yang berdampak pada kualitas pelayanan umum pejabat publik kepada masyarakat. Kelompok ini terdiri dari tindakan diluar kompetensi, pejabat yang tidak kompeten menjalankan tugas, intervensi yang mempengaruhi proses pemberian pelayanan umum, dan tindakan yang menyimpangi prosudur tetap.
1. Diluar Kompetensi
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik memutuskan sesuatu yang bukan menjadi wewenangnya sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik.
2. Tidak Kompeten
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik tidak mampu atau tidak cakap dalam memutuskan sesuatu sehingga pelayanan yang diberikan kepada masyarakat menjadi tidak memadai (tidak cukup baik).
3. Intervensi
Seorang pejabat publik melakukan campur tangan terhadap kegiatan yang bukan menjadi tugas dan kewenangannya sehingga mempengaruhi proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat.
4. Penyimpangan Prosedur
Dalam proses pemberikan pelayanan umum, seorang pejabat publik tidak mematuhi tahapan kegiatan yang telah ditentukan dan secara patut sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan umum secara baik.
Kelompok kelima adalah bentuk-bentuk maladministrasi yang mencerminkan sikap arogansi seorang pejabat publik dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Kelompok ini terdiri dari tindakan sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang, dan tindakan yang tidak layak/tidak patut.
1. Bertindak Sewenang-wenang
Seorang pejabat publik menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, menjadikan pelayanan umum tidak dapat diterima secara baik oleh masyarakat.
2. Penyalahgunaan Wewenang
Seorang pejabat publik menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk bertindak) untuk keperluan yang tidak sepatutnya sehingga menjadikan pelayanan umum yang diberikan tidak sebagaimana mestinya.
3. Bertindak Tidak Layak/ Tidak Patut
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan sesuatu yang tidak wajar, tidak patut, dan tidak pantas sehingga masyarakat tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya.
Kelompok keenam adalah bentuk-bentuk maladministrasi yang mencerminkan sebagai bentuk-bentuk korupsi secara aktif. Kelompok ini terdiri dari tindakan pemerasan atau permintaan imbalan uang (korupsi), tindakan penguasaan barang orang lain tanpa hak, dan penggelapan barang bukti.
1. Permintaan Imbalan Uang/Korupsi
a. Dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seorang pejabat publik meminta imbalan uang dan sebagainya atas pekerjaan yang sudah semestinya dia lakukan (secara cuma-cuma) karena merupakan tanggung jawabnya.
b. Seorang pejabat publik menggelapkan uang negara, perusahaan (negara), dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain sehingga menyebabkan pelayanan umum tidak dapat diberikan kepada masyarakat secara baik.
2. Penguasaan Tanpa Hak
Seorang pejabat publik memenguasai sesuatu yang bukan milik atau kepunyaannya secara melawan hak, padahal semestinya sesuatu tersebut menjadi bagian dari kewajiban pelayanan umum yang harus diberikan kepada masyarakat.
3. Penggelapan Barang Bukti
Seorang pejabat publik terkait dengan proses penegakan hukum telah menggunakan barang, uang dan sebagainya secara tidak sah, yang merupakan alat bukti suatu perkara. Akibatnya, ketika fihak yang berperkara meminta barang bukti tersebut (misalkan setelah tuduhan tidak terbukti) pejabat publik terkait tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Pelaku Maladministrasi
Pelaku Maladministrasi Publik adalah Pejabat Pemerintah (Pusat maupun Daerah), Aparat Penegak Hukum, Petugas BUMN/BUMD dan Aparat Penyelenggaran Negara lainnya. Contohnya, Pegawai Dinas Perijinan yang mempersulit proses perijinan usaha, Polisi yang mengulur-ulur penanganan perkara, Pegawai PLN atau Petugas Perusahaan Air Minum (PDAM) yang memanipulasi meteran, dsb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda sangat bermanfaat untuk blog kami dan juga pengunjung blog ini