Apakah nikah siri tanpa izin istri yang sah, dapat dikenakan pasal perzinahan?
Dalam hukum positif di Indonesia tidak mengenal adanya istilah nikah siri (perkawinan siri), terlebih lagi mengatur secara khusus mengenai perkawinan siri dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Istilah sirri sendiri berasal dari bahasa arab sirra, israr yang berarti rahasia.
Nikah siri di dalam masyarakat sering diartikan dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri)
dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap
sah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu
syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama (memenuhi ketentuan syarat dan rukun nikah/kawin) namun tidak dicatatkan pada kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi yang Non-Islam). Ketiga,
pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu;
misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang
terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena
pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk
merahasiakan pernikahannya.
Di Indonesia mengenai perkawinan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“UUP”). Pasal 2 ayat (1) UUP menyebutkan bahwa:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Jadi perkawinan adalah sah bila telah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan pasangan yang kawin. Pasal ini menempatkan hukum agama dan kepercayaan adalah hal yang paling utama dalam perkawinan, dan secara implisit tidak ada larangan oleh Negara terhadap nikah siri.
Namun, lebih lanjut Pasal 2 ayat (2) UUP menyebutkan adanya kewajiban untuk tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang dicatatkan guna mendapatkan akta perkawinan. Akta perkawinan adalah bukti telah terjadinya/berlangsungnya perkawinan, bukan yang menentukan sah tidaknya perkawinan. Tidak ada bukti inilah yang menyebabkan anak maupun istri dari perkawinan siri tidak memiliki status hukum (legalitas) di hadapan Negara.
Ketentuan tentang Perzinahan diatur di dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHP”) , yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
l. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b.
seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan
itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan
pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar,
dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga
bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang
karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
(5) Jika
bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama
perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang
menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Terkait pertanyaan Saudara mengenai apakah nikah siri tanpa izin istri yang sah dapatkah dikenakan Pasal Perzinahan.
Sebelum berlakunya UUP, ketentuan Perkawinan yang dimaksud dalam KUHP adalah ketentuan Perkawinan dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPerdata"). KUHPerdata menyebutkan :
Pasal 26: “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”.
Pasal 27: “Dalam
waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang
perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu laki sebagai
suaminya.”(asas monogami)
Pasal 50: “Semua
orang yang hendak kawin, harus memberitahukan kehendak itu kepada
pegawai catatan sipil tempat tinggal salah satu dari kedua pihak.”
Dan tidak adanya izin kawin dari istri yang sah merupakan penghalang yang sah untuk kawin lagi (Pasal 280 KUHP).
Namun berdasarkan asas keberlakuan undang-undang yakni asas lex posterior derogat lege priori (undang-undang yang berlaku kemudian mengesampingkan undang-undang terdahulu sejauh mengatur
objek yang sama), maka pemberlakuan Pasal 284 KUHP harus mengikuti
ketentuan yang dimuat dalam UUP. Dalam hal ini adalah ketentuan Pasal 2
ayat (1) dan ayat (2) UUP sebagaimana disebut di atas.
Bahwa
nikah siri tanpa adanya izin dari istri yang sah dapat ‘memberi ruang
delik’ perzinahan sepanjang pelaku nikah siri tidak dapat membuktikan
bahwa benar telah ada perkawinan yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP di atas, dan hanya bisa dituntut berdasarkan adanya pengaduan dari istri/suami yang tercemar (delik aduan).
Delik aduan menurut H.A. Abu Ayyub Saleh,
adalah delik yang dapat dilakukan penuntutan delik sebagai syarat
penyidikan dan penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang
dirugikan/korban.
Merupakan
sebuah perdebatan (perbedaan pendapat) dalam segi perspektif hukum,
apabila membenturkan nikah siri ke dalam ranah hukum agama dan hukum
pidana positif di Indonesia.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847)
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 73).
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda sangat bermanfaat untuk blog kami dan juga pengunjung blog ini